Selasa, 20 Juli 2010

Menghafal Al-Quran Bisa Bikin Gila?

http://www.eramuslim.com/oase-iman/anung-umar-menghafal-al-quran-bisa-bikin-gila.htm
Selasa, 20/07/2010 06:25 WIB
Oleh Anung Umar

Pernahkah terlintas dalam pikiran anda pertanyaan di atas? Atau dari saudara-saudara anda? Kalau saya pribadi, terus terang belum pernah. Lho, kalau begitu pertanyaan itu fiktif dong? Tidak juga, pertanyaan tadi muncul dari mulut teman saya. Lho kok bisa?
Ceritanya begini, sekitar enam tahun lalu teman saya pergi menuntut ilmu syar'i ke sebuah pondok pesantren di luar jawa, tepatnya di suatu kota besar di Sulawesi. Dia pergi dengan tekad dan semangat yang membumbung tinggi untuk menggapai ilmu sebanyak-banyaknya. Akan tetapi ketika baru saja menginjakkan kakinya di pondok pesantren itu, semangatnya langsung goncang, badannya terasa lemas dan kepalanya terasa pusing. Ada apa? Pondok pesantren sudah bubar? Bangunannya hancur? Atau pesantren lagi diliburkan?
Bukan, bukan, bukan itu semua, ia hanya stress. Stress karena apa? Ia melihat ada santri yang gila! Kemudian ia juga mendengar dari santri lama bahwa sebelumnya ada pula santri yang gila! Makin bertambah stressnya. Bukan hanya itu saja, ia juga mendengar cerita santri di situ bahwa kedua santri yang gila ini termasuk santri yang menonjol dan terkenal cerdas! Teman saya benar-benar stress!
Teman saya ini bertanya kepada santri lama tentang penyebab gilanya si santri itu? Santri lama ini menjawab kalau ia tidak mengetahui penyebab gilanya, tapi yang jelas 2 santri gila ini tergolong santri yang menonjol dan cerdas, bahkan santri yang terakhir ini banyak hafalan Al-Qurannya, selain itu ia juga dikenal kuat hafalannya. Pernah suatu hari ia melanggar peraturan pondok, maka ustadz pun memberinya hukuman berupa kewajiban menghafal sekitar 30 hadits, entah berapa lama batas waktu yang diberi ustadz, yang pasti ia hafal semuanya dalam waktu satu malam!
Teman saya tercengang mendengar kehebatan santri "super" itu, ia pun kagum sekaligus takut. Karena Ia berpikir, "Kalau ia yang banyak hafalan Al-Qurannya saja bisa gila, maka apalagi saya yang hafalannya pas-pasan!"Akhirnya ia pun mendatangi ustadz pimpinan pondok untuk mengadukan keresahannya, ia berkata, "Ustadz, apa mungkin orang yang menghafal Al-Quran bisa gila?
Ustadz menenangkannya dengan memberinya faidah dari perkataan Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa penyebab menyimpangnya Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) itu, karena satu dari dua perkara: Suulqashd (rusaknya niat/tujuan) atau Suul'amal (rusaknya amal). Adapun Yahudi menyimpang karena rusaknya niat mereka sedangkan Nashara menyimpang karena rusaknya amal mereka. Teman saya puas dan lega dengan penjelasan ustadz dan hilanglah stressnya lalu ia pun mulai semangat lagi untuk menuntut ilmu.
Mungkin ada yang bertanya, "Lho apa hubungannya antara kerusakan Ahlul Kitab dengan santri gila itu?" Awalnya saya juga kurang mengerti, tapi setelah dipikirkan lebih cermat, ternyata "connect" juga. Perkataan ustadz tadi dengan menyebutkan penjelasan dari Ibnul Qayyim sebenarnya sudah jelas. Memang jawaban ustadz tidak menyebutkan secara gamblang tentang santrinya itu, akan tetapi dari perkataannya secara tersirat bisa dipahami seperti ini, "Sebagaimana Ahlul kitab menyimpang karena rusaknya niat atau amal mereka, maka demikian pula si santri ini bisa seperti itu."
Makanya teman saya tadi berkata kepada saya, "Betul memang jawaban ustadz, kita kan nggak tahu apakah niat dia (santri gila) waktu menghafal Al-Quran bener-bener ikhlas apa nggak, karena mungkin aja ada orang yang belajar agama atau rajin menghafal Al-Quran, eh, rupanya pengen dipuji atau dihormatin orang."
Setuju! Setuju, temanku! Memang benar, orang yang tidak ikhlas itu kalau beramal dengan amalan yang ringan walaupun sedikit saja, rasanya berat sekali, sebaliknya orang yang ikhlas, ketika beramal dengan amalan yang berat akan terasa ringan bahkan menkmatinya. Selain itu, orang yang tidak ikhlas dalam beramal ketika ia tidak mendapatkan imbalan duniawi atas amalannya, apakah itu pujian, sanjungan atau penghormatan, ia merasa gelisah dan sesak dadanya, sebaliknya orang yang ikhlas, ketika ia sedang beramal atau sesudahnya, ia tetap tenang, khusyu dan lapang dadanya, baik ada pujian yang ia dengar maupun tidak.
Mungkin ada yang bertanya dan ini memang terjadi, "Saya pernah berdzikir sebanyak ribuan kali pada suatu malam dan saya ikhlas, insya Allah, tapi kok saya jadi seperti orang gila, tak sadar dengan apa yang saya ucap dan badan saya jadi goyang sendiri tanpa disengaja?"
Kalau kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim tadi, sebenarnya ia tinggal bertanya kepada dirinya sendiri, "Kalau memang niat saya sudah ikhlas dan benar, tapi sudah benarkah amalan saya? Sesuaikah dengan yang dituntunkan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam? Apakah Rasul shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdzikir seperti itu?"
Itulah syarat diterimanya suatu amalan yaitu harus ikhlas niatnya dan benar amalannya (sesuai sunnah Rasul) atau menurut bahasa yang tersirat dari perkataan Ibnul Qayyim tadi, "Tidak rusak niatnya dan tidak rusak amalannya."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niat Dan setiap orang (akan mendapatkan) apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya (dalam rangka menjalankan ketaatan kepada) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya menuju apa yang ia niatkan." (HR. Bukhori dan Muslim)
"Siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim)
Kalau begitu, jika ada yang bertanya kepada kita, "Apakah yang menghafal Al-Quran bisa gila?" Jawab saja dengan tegas dan lantang, "Ya, bagi orang yang tidak ikhlas dalam menghafalkannya atau tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam!"
Jakarta,7 Sya`baan 1431/19 Juli 2010
umaranung@yahoo.co.id

Alquran Bukan Jimat Bukan Mantera

suarasurabaya.net| Oleh: Zainal Arifin Emka

Ada anak bertanya kepada bapaknya,
“Mengapa Alquran dibaca di depan orang mati?”
“Di mana itu!?”
“Di televisi!”
“Oh, itu sinetron. Itu tontonan, bukan tuntunan!”
“Tapi di berita juga ada. Bahkan ada yang membaca Alquran di depan kuburan! Waktu UAN, teman-temanku juga diajak mengaji di makam!” kata si anak nyaris dalam satu tarikan nafas.

Bapaknya terdiam dalam bingung. Dengan perasaan pedih beliau harus mengakui, masih ada orang yang memperlakukan Alquran sama sekali berbeda dengan tujuan diturunkannya Kitab Suci itu. Ada yang mengutip sebagian ayatnya, membungkusnya, menempelkannya di dinding rumah. Mereka memperlakukan Alquran sebagai jimat penangkal sial.

Memang ada yang membawa muridnya mengaji di depan makam ‘keramat’ untuk memperoleh kemudahan menghadapi ujian. Anak-anak belia itu diajari memperlakukan ayat Alquran seperti mantera.

Ketika televisi memberitakan kematian seseorang, ada tayangan orang membaca Alquran di hadapan si mayit. Kita sedih karena tentu saja Kitab Suci berisi petunjuk itu diperuntukkan bagi yang masih hidup. Bahkan yang masih hidup jiwa dan hatinya. Sama sekali bukan untuk manusia mati.

Alquran memberitahu manusia (yang masih hidup) apa yang harus direnungkannya dan diamatinya. Dengan perenungan, seseorang akan merasakan secara lebih baik makna kesempurnaan, hikmah, ilmu, dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Dengan cara itu orang segera menyadari bahwa keseluruhan alam semesta adalah sebuah isyarat. Setiap karya Allah menunjukkan pesan-pesan dari penciptanya.

Menggembirakan
Kepada seorang sahabat, saya bertanya: Berapa jumlah TPA? Pertanyaan lewat SMS ini dijawab dengan segera: Jlh tpa d jtm spi 2004 tctt 7.300 u, stri 674.500. Alhmlh! Maksudnya: Jumlah Taman Pendidikan Alquran di Jatim sampai 2004 tercatat 7.300 unit, santrinya 674.500. Alhamdulillah!

Saya menangkap isyarat kebahagiaan dalam jawaban guru TPA itu. Ditemukannya berbagai metodologi baru yang memudahkan belajar membaca Alquran, memang telah menggairahkan banyak orang untuk mempelajari Alquran. Termasuk kalangan lanjut usia.

Fenomena yang juga menggembirakan adalah kian banyaknya pengajian yang jamaahnya membawa terjemah Alquran. Setiap kali ustadz membaca ayat, peserta diminta membaca terjemahnya. Kadang ustadz hanya menyebut nama surat dan nomor ayat, lalu meminta peserta menemukan dan membacanya, peserta lain terjemahnya. Metode itu membuat jamaah lebih bergairah. Boleh jadi karena merasa dilibatkan, dan tentu saja merasa telah menemukan mutiara-mutiara petunjuk perjalanan hidupnya. Maklum, selama ini hanya membaca tanpa paham artinya.

Virus Positif
Kita banyak menyaksikan kegairahan seperti itu di banyak masjid dan pada acara ruhani di TVRI Jawa Timur. Mari kita berdoa semoga virus positif itu segera menyebar cepat ke seluruh nusantara, tanpa ada yang mampu menghalanginya.

Kabar baik itu saya kemukakan untuk mengingatkan bahwa pesona kandungan Alquran memang hanya bisa direguk bila orang memahami isinya. Sayang kalau berpuas diri dengan merasa sudah akan memperoleh pahala dari membacanya saja. Alquran bukan hanya untuk dibunyikan, tapi untuk dipahami isi petunjuknya, dan diamalkan sebagai tuntutan hidup.

Kebiasaan membaca Alquran dan memahami artinya, akan memompa rasa dahaga menyimak kandungannya. Kebiasaan dan kebisaan itu bagus ditanamkan sejak anak-anak masih nyantri di TPA: belajar membaca sekaligus memahami artinya. Anak-anak akan terjaga untuk tetap rajin membaca Alquran saat ia sudah tamat belajar di TPA. Ada kerinduan untuk terus menyimak kandungannya.

Dari sini agaknya kita, para orangtua, harus berani melihat dan menjawab: apakah putra-putri kita tetap membaca Alquran selepas ia lulus dari Sekolah Dasar?!? Para penyelenggara TPA ada baiknya membuat penelitian untuk menjawab pertanyaan yang sama. Jangan takut melihat realitas: boleh jadi anak-anak tak lagi menyimak Alquran sebagai kebutuhan ruhaninya. Ada begitu banyak godaan yang mereka hadapi: PR sekolah, les tambahan, tontonan televisi, dan banyak lagi.

Anak-anak akan mudah mengesampingkan Alquran jika mereka hanya memahami Alquran sekadar sebagai bacaan. Bukan tuntunan yang menenteramkan hati, yang membangunkan gairah hidup, menawarkan solusi masalah, dan memompa rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup.

Para orangtua bisa turut menjaga agar anak-anak tidak dininabobokkan anggapan membaca saja sudah mendapat pahala berlimpah. Tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar. Tentu saja mengingat kedudukan Alquran sebagai petunjuk. Logikanya sederhana saja: Bagaimana bisa memperoleh petunjuk kalau tidak tahu artinya.

Simaklah beberapa ayat surat Ali Imran 190-191 ini, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Rabb, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Masuk akalkah ayat ini ditujukan kepada orang mati?!?(zae/ydsf/ipg)

Zaenal Arifin Emka: Ketua Stikosa-AWS; Staf Ahli Al Falah

"Sudahkah kita membaca Alqur'an hari ini?
Berapa kali dalam sebulan kita mengkhatam Al qur'an."
( Khairukum man ta'allamal qur'an wa 'allamah).
SOMEDAY IS TODAY, DO IT NOW OR NEVER

TIPS OF THIS DAY
“Didiklah anakmu dengan 3 perkara: mencintai Allah, mencintai Rasul dan belajar Al-Qur’an” (Al-hadits)