Selasa, 25 Mei 2010

Suatu Kisah Dibalik Menghafal Al Qur'an

Pak Didi, lelaki berusia lebih dari 60 tahun yang nikmat penglihatannya kini sudah diambil kembali oleh Sang Pemilik Sejati ini memang selalu menempati tempat tersebut. Wajar jika pak Didi mendapatkan shaf pertama karena beliau selalu ( sering ) menjadi orang pertama yang hadir di mushola. Terlebih jika sholat subuh, beliaulah yang selalu melantunkan sholawat, membangunkan jamaah lain yang masih terlelap dalam tidurnya. Dan ujung kiri adalah tempat yang paling mudah dijangkau olehnya yang selalu datang dari pintu sebelah kiri, berjalan meraba tembok dan berhenti ketika jangkauan tangannya menyentuh dinding bagian depan.

Pak Didi, pria santun yang beberapa waktu lalu pernah aku tulis kisahnya lantaran rumus 90 langkah menuju mushola nya. Pak Didi yang tetap istiqomah sholat berjamaah di mushola, meskipun untuk sampai di sana beliau harus meraba dan menghitung langkah kakinya karena kedua mata fisiknya tak mampu lagi membedakan gelap dan terang. Bukan, bukan karena tak ada keluarga yang mengantarkan, tapi karena pak Didi lebih senang berangkat ke mushola sendiri ( khususnya untuk sholat Subuh, sedang untuk sholat-sholat lainnya pak Didi sering diantar oleh istri atau cucunya ). Pak Didi yang telah membukakan kesadaranku, memberiku semangat untuk terus sholat berjamaah di mushola. Dan jika kini aku mencoba kembali menulis tentangnya, semua karena ‘hoby’ barunya.

Seminggu terakhir, pak Didi sedang rajin menghafalkan ayat-ayat suci Al Quran. Kalau surah Yaasiin sudah lama beliau hafal. Yang sekarang sedang menarik minatnya untuk dihafalkan adalah surat An Nisaa’ ayat 59–60. Pernah aku bertanya ada apa dengan ayat ini, sehingga beliau tergerak untuk menghafalkannya, apakah ayat-ayat sebelumnya sudah hafal semua ataukah ada pengalaman khusus dengan ayat ini? Dengan tersenyum ramah ( salah satu ciri khasnya ) beliau katakan bahwa sebenarnya ayat-ayat lainnya belum hafal, tapi belaiu tertarik untuk menghafal ayat tersebut lantaran beliau pernah mengikuti sebuah pengajian yang kebetulan membahas ayat tersebut.

Bagaimana pak Didi belajar menghafal, sedangkan membacapun beliau tak bisa?. Adalah Haji Sidik atau terkadang pak Minong yang sering mendampingi pak Didi menghafal, sambil menunggu datangnya waktu Isya. Dan meski sudah tergolong ‘sepuh’, daya ingat pak Didi ternyata masih cukup kuat. Itu kuketahui ketika kemarin malam aku dimintanya untuk mendampingi beliau menghafal surat An Nisa ayat ke-59 dan 60. Kebetulan malam itu hanya ada aku dan pak Didi, jamaah lainnya yang biasa mengaji sudah pada pulang, barangkali ada satu keperluan sehingga mereka baru datang kembali beberapa saat sebelum azan Isya berkumandang. Dua ayat yang cukup panjang ini mampu dihafal pak Didi dengan baik. Aku menyimak hafalan pak Didi sambil membuka Al Quran. Hampir semuanya betul, hanya ada beberapa yang tajwidnya kurang pas ( menurutku ).

Selanjutnya pak Didi minta agar aku membacakan ayat selanjutnya. Dan Subhanallah, hanya beberapa kali kubacakan, pak Didi langsung bisa menghafalnya. Bahkan, secara tak sengaja akupun jadi ikut menghafalkan, meskipun baru satu ayat. Alhamdulillah.

Satu hal yang kudapat dari belajar menghafal bersama pak Didi malam itu. Semangat pak Didi yang menggebu, dan ini membuatku merasa malu. Aku teringat masa kecil di kampung dulu, almarhum Romelan mengajari kami menghafal juz Ama. Hampir semua surat-surat di juz ke-30 berhasil kami hafalkan meskipun baru sebatas hafalan tanpa mengerti arti dan kandungannya. Tapi kini, Astaghfirulloh! Tinggal beberapa surat yang masih kuingat, itupun terbatas pada surat-surat yang biasa kubaca di setiap sholat.



Pernah beberapa waktu yang lalu, aku mencoba menghafalkan kembali surat-surat pendek ditambah dengan artinya. Namun sayang, hafalanku terhenti di surat Al ‘Ashr. ‘Kesibukan’ duniawiku menjadi alasannya. Astaghfirulloh, ampuni aku ya Allah.

Dan malam itu, ketika pak Didi meminta ( tepatnya mengajakku ) menghafal bersama, muncul sebuah keinginan untuk kembali membenahi hafalanku yang dulu. Bukan hanya hafal bacaannya, tapi juga artinya. Dengan mengerti artinya, mudah-mudahan kedepannya bisa memahami kandungannya, insya Allah. Terima kasih pak Didi, kembali untuk kedua kalinya engkau telah membukakan kesadaran sekaligus memberikan semangat padaku. Semoga Allah menetapkan hidayah itu padamu, juga kepadaku. Amin.

abisabila.blogspot.com

Kamis, 13 Mei 2010

Gadis 3 Tahun dari Azerbaijan Hafal Puluhan Surat Al-Qur'an

Seorang gadis cilik asal Azerbaijan, Zahra, yang usianya baru menginjak tiga tahun, telah hafal sekitar 40 surat Al-Qur'an diluar kepalanya dengan bacaan dan tajwid yang fasih.

Ibunda Zahra mengatakan, dirinya sangat heran dengan tingkah polah anaknya yang sejak umur setahun lebih suka meracaukan lafaz-lafaz dan ayat Al-Qur'an, dari pada menyanyi dan racauan khas anak kecil umumnya.

Dikisahkannya, dirinya juga rajin membaca Al-Qur'an semasa mengandung Zahra, juga mendengarkan suara lantunan ayat-ayat suci yang diputar melalui kaset atau cd.

"Sejak Zahra berusia bayi, saya sering membacakan Al-Qur'an dihadapannya. Zahra pun suka mengulangi apa yang saya bacakan," kisah ibunya.

Kini, Ibunda Zahra memasukan anaknya itu ke madrasah hafalan Al-Qur'an di kampungnya. Ia memang bercita-cita untuk memiliki anak yang hafal Al-Qur'an. (AGS/db)

Larutan Penyegar Hati

Aku bukan tak ingin kaya.
Juga tak ingin hidup miskin.
Aku hanya ingin memilih selalu hidup sederhana.
Aku ingin menjadi orang biasa.

Biarlah rumah kami begini, apa adanya, asal keluargaku dapat berteduh dan beristirahat, terhindar dari panasnya matahari dan basahnya hujan. Rumah model kampung dan tak mengikuti tren arsitektur terbaru. Tak harus mewah, tak harus terlihat indah dan artistik.

Aku malu pada Rasul yang hanya tidur di atas tikar kasar tiap harinya, sementara di rumahku tersedia kasur spring bed yang kadang terlalu memanjakan penggunanya sehingga terlambat sholat berjamaah.

Aku malu pada Syekh Ali Ghuraisyah, yang hanya menjadikan krak botol minuman yang ditutup sehelai kain lusuh untuk meja dan kursi tamunya. Sementara di rumahku ada beberapa kursi, meskipun kuno dan bukan sofa, yang cukup enak diduduki.

Aku malu pada Usamah, yang tak memiliki satu buah furnitur pun di rumah keempat istrinya, sementara untuk amal sosial dengan mudah dia akan mengeluarkan cek senilai ratusan juta dollar.

Mereka bukan orang miskin, tapi mereka adalah orang-orang yang memilih untuk hidup sederhana.

Aku takut berlimpahnya harta akan menyilaukan mata dan hatiku.
Takut nyamannya rumah dan kendaraan membuatku tak lagi mampu meletakkan harta di tangan, tapi telah jauh meracuni hatiku.
Dan aku sungguh takut dengan ujian harta ini.

Biarlah kendaraan kami biasa saja, sepeda motor yang sudah cukup berumur dan mobil kuno 1990-an yang sudah berkarat di beberapa sisinya. Asal dengan itu telah mampu membantuku beraktivitas dan menghemat banyak hal dalam perjalanan.

Aku malu pada Rasul dan Abu Bakar, yang menempuh perjalanan Makkah-Madinah dengan berjalan kaki, padahal mudah bagi beliau untuk meminta diperjalankan oleh Allah dengan Buraq sekalipun.

Aku malu pada Syekh Hasan Al-Banna & Syaikh Umar Tilmisani, yang lebih memilih naik kereta kelas ekonomi untuk berdakwah di seantero Mesir, meski secara finansial sangat mampu untuk naik kereta kelas di atasnya.

Aku malu pada pemuda Taufiq Wa’i, yang tak mau hanya sekedar naik taxi seperti saran bunda Zainab Al-Ghazali, karena khawatir tak mampu menyikapi fasilitas itu dengan benar.

Biarlah kemana-mana aku ingin naik angkutan umum kelas ekonomi, selagi fisik mampu diajak berkompromi. Bukan naik taxi atau kelas eksekutif. Bukan karena sayang mengeluarkan uang, tapi sungguh bersama orang-orang berbagai tipe di kelas ekonomi itu, banyak pelajaran yang dapat kuambil, dan itu mampu melembutkan hati.

Biarlah aku memiliki baju secukupnya saja, tak harus mengikuti model terbaru. Yang penting masih utuh dipakai dan cukup pantas dilihat orang. Aku takut menjadi penganut paham materialis, berburu berbagai koleksi baju, kerudung, tas, alat tulis, perlengkapan elektronik... bukan karena perlu tapi hanya sekedar ingin.

Aku malu pada khalifah kelima, Umar bn Abdul Aziz, yang setelah menjadi khalifah justru memilih jenis pakaian yang paling kasar dan paling murah pada pedagang yang sama, hingga membat takjub si pedagang karena sebelumnya sang Umar adalah seorang yang sangat memperhatikan penampilan.

Aku bahagia, saat melihat pak NN dengan istri dan ke-6 anaknya yang kecil-kecil dapat berteduh di salah satu rumah kami tanpa bayar sejak 8 tahun lalu. Jujur, melihat kehidupan perekonomian mereka yang makin membaik, kadang tergoda untuk mulai menerapkan prinsip ’profesional’ dengan perjanjian sewa.

Tapi, Astaghfirul-Lah.. kembali kutepis keinginan itu. Mungkin, justru lewat wasilah doa-doa tulus pak NN-lah, Allah selalu memberikan rezki yang berlebih padaku dan keluarga. Ya Rabb, biarkanlah rumah itu menjadi ladang amal pintu pembuka rahmatMu bagi kami.

Aku bahagia, meski piutang-piutang kami untuk berbagai keperluan pada beberapa orang tak kunjung terbayarkan sampai berbilang tahun bahkan berpuluh tahun. Aku pun tak ingat lagi persis jumlah nominalnya. Aku percaya, mereka semua bukan tak mau membayar, tapi belum mampu membayar.

Tentu mereka malu untuk tiap waktu hanya menghubungi lalu mohon maaf dan meminta penangguhan waktu pembayaran. Mereka juga manusia, yang memiliki izzah. Biarlah, mungkin mereka butuh waktu. Mungkin Allah sedang mengajarkan arti ikhlas pada kami. Biarlah, kalau memang ternyata sampai nanti pun tak mampu terbayarkan, Allah yang akan menggantinya dengan yang lebih baik. Insya Allah....

Bahkan, mungkin dari mulut-mulut merekalah, teman-teman yangn membutuhkan itu, meluncur doa-doa ikhlas untuk kami sekeluarga, yang langsung didengar Allah di Arsy sana, hingga Allah berikan kemudahan rizki pada kami.

Aku ingat, salah seorang teman yang sudah cukup lama berhutang sekian juta, demi mengetahui bahwa aku akan menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu, dia mengirim sms: "Semoga hajimu mabrur ya Ning. Jangan lupa aku titip doa, doakan aku agar semua masalahku terangkat, kehidupanku menjadi lebih baik, dan aku dapat segera menunaikan kewajibanku pada kalian yang sudah tertunda sekian tahun.

Aku malu sebetulnya bicara begini. Tapi aku tahu, kalian bisa menerima dengan lapang".
Hiks, sungguh aku terharu dan menetes air mataku membaca sms itu.

Sayup-sayup, kudengar refrain nasyid Antara Dua Cinta-nya Raihan

Tuhan, leraikanlah dunia
yang mendiam di dalam hatiku
karena disitu tidak ku mampu
mengumpul dua cinta
Hanya cintaMu, kuharap tumbuh
diibajai bangkai dunia yang kubunuh ...

Rabu, 12 Mei 2010

Suatu hari di Negeri Qur'ani

Saya harus menyelesaikan tugas mengajar privat di selatan Kairo hari itu. Perjalanan sekitar tiga puluh menit dari statsiun Demerdash, Abbasea. Pikiran saya tidak tenang, masih berkecamuk semenjak siang tadi. Kata teman-teman satu Fakultas ujian bisa jadi dimajukan dari biasanya. Terbayang oleh saya hafalan delapan Juz Al-Qur’an sudah menunggu. Ah, jika saja dulu di Indonesia sudah hafal banyak Al-Qur’an rasanya tidak usah pusing memikirkannya lagi, tinggal mengulang dan mendalami. Tidak seperti sekarang, terburu-buru menghafal karena ujian sudah dekat. Padahal dosen di kuliah berulang kali mengingatkan jangan menghafal Qur’an karena ujian, hafalkan ayat-ayat Qur’an karena ia kitabmu.

Diam-diam saya mengeluarkan mushaf kecil, membaca sisa bacaan yang belum selesai. Di depan saya berdiri, nampak anak muda berpakaian trendi sedang membaca kumpulan surat-surat pilihan dalam Al-Qur’an yang disebut Sab’ul Munjiyat. Tidak lama ia berdiri meninggalkan tempat duduknya, bersamaan dengan henti roda-roda baja kereta. Saya pun menempati kursi kosong bekas pemuda tadi.

Wajah-wajah dalam gerbong itu nampak lelah. Tetapi saya sedikit menemukan kesejukan, beberapa orang dalam gerbong itu membaca Al-Qur’an. Lelaki tua berambut putih yang duduk di samping saya juga mengeluarkan mushaf besar dari dalam tas lusuhnya. Memang terlihat ganjil, namun ia berusaha menyesuaikan dengan kondisi matanya yang (mungkin) sudah rabun.

Masyarakat Mesir cukup religius dalam keseharian mereka, utamanya dalam interaksi mereka dengan Al-Qur’an di tengah arus globalisasi dan invasi budaya Barat yang merajalela di negeri-negeri Muslim. Polisi, tentara dan satpam yang sedang jaga tak segan membaca Al-Qur’an. Saat pergi ke pertokoan Khan Khalili di kawasan Husein saya pun beberapa kali menyaksikan pemandangan yang membuat gairah keimanan menyala, beberapa penjaga toko Khan Khalili membaca Al-Qur’an sambil menunggu pembeli yang mayoritas turis Asing. Dan saat kami pergi ke kuliah, dalam bis-bis kota yang sesak beberapa orang Mesir membaca dan mengulang hafalan Qur’an-nya.

Pernah satu waktu sepulang dari perjalanan yang sama, saya ditegur seorang pemuda yang sedang mengulang hafalan Qur’an-nya.
“Apakah kamu membawa mushaf?”
“Ya” Jawab saya. “Mengapa kamu tidak membacanya?” katanya lagi.
“Saya tidak punya wudlu.”
“Apa salahnya mengulang hafalan Qur’an? Saya juga tidak punya wudlu!” saya mengangguk dan membenarkan nasihatnya.

Beberapa waktu lalu, adik kelas saya satu sekolah dulu bertanya, “Bagaimana cara menghafal Qur’an yang efektif?”

Saya tidak punya jawaban yang betul-betul saya tahu, hanya saja saya sarankan untuk terus menghafal dan banyak mengulang. Usahakan baca Qur’an di mana pun ada kesempatan seperti masyarakat Mesir melakukannya. Ia kemudian menjawab, bahwa untuk membaca Qur’an di setiap kesempatan terasa sulit jika diterapkan di kota seperti Jakarta. Saya tidak tahu pasti apakah memang benar di Jakarta susah untuk melakukannya? Karena masyarakat yang tadi saya ceritakan di atas ada di Kairo yang nota bene ibu kota Mesir.
Setidaknya satu hal yang diharap para pembaca Qur’an itu: keberkahan. Keberhakan dalam segala hal, bukan hanya dari sisi materi, jauh dari itu keberkahan di Hari Pengadilan seluruh manusia. Karena kata Nabi SAW, “Bacalah Qur’an. Karena ia akan menjadi pemberi syafa’at kepada para pembacanya.” Dan keberkahan itu sendiri telah dijanjikan Allah dalam kitab-Nya ini, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S. Shaad: 29)

Penulis buku ‘Fî Dzilâlil Qurân’ (Di Bawah Naungan Qur’an) Sayyid Qutb, mengungkapkan kekagumannya kepada Al-Qur’an setelah lama ia bergelut dengan berbagai pemikiran Materealis, “Wajadtu-l Qur’an” (Kutemukan Al-Qur’an) katanya. Semenjak itu ia pun konsen mempelajari Al-Qur’an sampai ia menemui syahid di tiang gantungan, setelah merampungkan karya monumentalnya: Fî Dzilâlil Qur’ân.

Inilah sedikit gambaran dari sebuah Negeri Qur’an bernama Mesir. ‘Negeri Qur’an’ hanyalah sebuah nama yang terlintas di benak saya. Ia bukanlah negeri yang selalu identik dengan tanah Arab, bukan itu yang saya maksud. Negeri Qur’an ialah negeri yang masyarakat Muslimnya dekat dengan Al-Qur’an apapun bahasa nasionalnya. Negeri yang mencintai Al-Qur’an sebagaimana mereka menyintai Allah pemilik kitab-Nya. Negeri itu mungkin saja negeri kita tercinta: Indonesia.

"Sudahkah kita membaca Alqur'an hari ini?
Berapa kali dalam sebulan kita mengkhatam Al qur'an."
( Khairukum man ta'allamal qur'an wa 'allamah).
SOMEDAY IS TODAY, DO IT NOW OR NEVER

TIPS OF THIS DAY
“Didiklah anakmu dengan 3 perkara: mencintai Allah, mencintai Rasul dan belajar Al-Qur’an” (Al-hadits)