Kamis, 20 Agustus 2009

Tiga Prinsip Berinteraksi dengan Al Quran Selama Ramadhan

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..” (QS Al-Baqarah 2:185)

Berdasarkan firman Allah tersebut di atas, selain sebagai bulan puasa, syahrul shiyam, Ramadhan juga merupakan syahrul Quran.

Maka bukti bahwa kita telah menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Quran apabila kita telah melaksanakan semua prinsip yang ada di dalam petunjuk pelaksanaan berinteraksi dengan Al Quran sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW.

Karakter-karakter dalam berinteraksi dengan Al Quran supaya maksimal hubungan kita dengan Al Quran dalam bulan Ramadhan dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut.

Pertama, adanya penyibukan diri dengan Quran.

Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan, Allah SWT telah berfirman, ”Barangsiapa yang disibukkan dengan Al Qur’an dan berdzikir kepada-Ku, hingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka aku akan memberikan apa yang terbaik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan firman Allah atas perkataan makhluk-Nya adalah seperti keutamaan Allah atas semua makhluknya.” (HR. Turmudzi)

Dalam hadits ini kita menggarisbawahi kata disibukkan. Kata disibukkan di sini menunjukkan bahwa di antara interaksi kita dengan Al Quran adalah penyibukan diri kita dengan Al Quran. Penyibukan itu berarti kita bersedia untuk menjadikan sebagian besar waktu kita untuk Al Quran, maupun tetap memperhatikan keseimbangan dengan kegiatan lain dengan untuk Al Quran, sehingga kita tetap berada dalam terminologi sibuk dengan Al Quran.

Maka tidak mungkin kita bisa sibuk dengan Al Quran kecuali bahwa kita harus bisa mewaspadai waktu-waktu kita agar jangan sampai tersedot oleh hal-hal lain, jangankan yang maksiat, bahkan yang mubah pun harus diwaspadai jangan sampai terjadi berlebihan, seperti tidur. Tidur itu mubah, tapi karena ini Ramadhan, maka harus diwaspadai, jangan sampai waktu kita tersedot untuk tidur yang berlebihan, sehingga kita bukannya sibuk dengan Quran, tapi sibuk dengan tidur, atau hal mubah lainnya seperti televisi dan seterusnya.

Mereka yang sudah berhasil menyibukkan diri dengan Al Quran, bukan berarti kemudian akan kehilangan kesempatan-kesempatan bagian dari kehidupan dunia ini. Mereka tetap orang yang dapat hidup secara normal, secara standar, tanpa harus menghilangkan kesempatan-kesempatan kehidupan duniawi ini.

Maka tidaklah orang yang meyibukkan dengan Al Quran, melainkan dijanjikan, ”Aku berikan kepadamu dengan pemberian yang lebih baik daripada yang diberikan kepada orang-orang yang berdoa.”

Jadi dengan “sibuk dengan Al Quran” itu, seseorang akan mendapatkan semua yang didapatkan oleh orang beriman pada umumnya. Karena ketika bersama Al Quran, otomatis kita beritighfar, otomatis kita minta surga, otomatis kita bertasbih, bertahlil, semua bentuk permintaan kita kepada Allah ada di dalam Al Quran ini. Otomatis generasi kita generasi yang baik, karena ketika sampai di Al Furqon kita pasti membaca Robbanaa hablanaa min azwaajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun, dan seterusnya.

Kalau kita mengambil pelajaran umat Islam terdahulu, mungkin orang sekarang akan menilai ”sibuk dengan Al Quran” yang ekstrim, karena hampir memutus semua kebiasaan yang ada.

Kalau masyarakat Islam terdahulu, bahkan para ulama sampai memutus sementara hubungan dengan masyarakat, jadi tidak ada lagi yang mengajar hadits, fikih, tafsir. Semua ulama libur mengajar, Ramadhan khusus untuk menyibukkan diri.

Tapi kalau hal ini kurang cocok di negeri ini, karena masyarakat ini di luar Ramadhan saja tidak mau mengaji, nah, kalau para ustadznya memutus pengajian selama bulan Ramadhan, maka masyarakatnya tambah tidak bertemu lagi dengan pengajian. Karena masyarakat kita, baru mau mengaji begitu Ramadhan.

Kita juga dapat mengambil hikmah dari bagaimana ”sibuk dengan Al Quran”-nya Imam Asy-Syafii yang sepanjang hari selalu selesai sekali khatam, terlepas catatan-catatan yang ada, atau benar atau tidaknya.

Hal itu menjadi bukti bahwa dalam hidup kita harus ada ”sibuk dengan Al Quran”, sehingga ketika di luar Ramadhan belum bisa ”sibuk dengan Al Quran”, maka di Ramadhan inilah kesempatan untuk menyibukkan diri dengan Al Quran.

Walaupun untuk sebuah proses pendidikan bisa jadi setiap kita memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Misalkan bagi yang sangat sibuk, bisa khatam satu kali dalam bulan Ramadhan itu sudah prestasi yang bagus sekali.

Sedangkan bagi yang pernah bisa khatam satu kali selama Ramadhan, sesungguhnya punya kemampuan untuk dua kali khatam, sehingga kemampuan ”sibuk dengan Al Quran”-nya meningkat. Bagi yang pernah 2 kali, maka sesungguhnya punya potensi untuk 3 kali khatam, dalam rangka ”sibuk dengan Al Quran”, dan seterusnya.

Secara standar untuk kehidupan yang masih manusiawi, sesungguhnya kita punya kekuatan untuk khatam Al Quran dalam Ramadhan itu kurang lebih sampai 10 kali. Kalau kita mau merintis, kemampuan ke sana sebenarnya ada, asal mau fokus. Buat 3 hari khatam, 3 hari khatam lagi, 3 hari khatam lagi dan seterusnya.

Untuk bisa mencapai hal itu, diperlukan fokus, dan kerjasama semua pihak, adanya keluarga di rumah yang saling mendukung. Serta diperlukan kemampuan baca yang sudah lancar, antara penglihatan dan pengucapan sudah cepat, bukan lihatnya kapan, bacanya kapan. Insya Allah bisa.

Pada akhirnya, disesuaikan pada setiap diri kita masing-masing, yang penting selalu ada peningkatan dari tahun ke tahun.

Kedua, al man-u, tercegah.

Rasulullah bersabda: ”Puasa dan Quran itu nanti di hari kiamat memintakan syafaat seseorang hamba. Puasa berkata: Ya Allah, aku telah mencegah dia memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari, maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya.

Dan berkata pula Al Quran: Ya Allah, aku telah mencegah dia tidur di malam hari (karena membacaku), maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya. Maka keduanya diberi hak untuk memintakan syafaat.” (HR. Ahmad, Hadits Hasan)

Kata ”mencegah” di sini, dimaksudkan mencegah tidur. Artinya, bilamana Al Quran itu mencegah kita untuk melakukan aktifitas-aktifitas mubah kita, khususnya tidur, khususnya lagi di waktu malam, serta aktifitas-aktifitas mubah yang lain. Mungkin tiap hari kita mempunyai jatah nonton tv, nonton berita, trus dialog, trus, tidak selesai-selesai. Untuk Ramadhan, sebaiknya stop dulu semua, tak ada tv dulu.

Maka di sini ada “mencegah”, sejauh mana Al Quran bisa mencegah berbagai aktifitas mubah kita, apalagi yang maksiat, maka waktu dan aktifitas kita difokuskan untuk al Quran. Sehingga Al Quran mencegah diri kita dari bersantai, dari lalai, melamun, hatta mengobrol. Semua waktu dan aktifitas menjadi sangat berarti karena Al Quran.

Ketiga, at takrir, penghargaan.

Rasulullah bersabda, “Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur’an lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu diinfakkannya pada waktu malam dan siang”. (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Yang dimaksud hasad di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain.

Penghargaan ini tekait dengan perasaan dalam diri. Maka hadits tersebut merupakan dorongan dari Rasulullah agar setiap orang beriman punya perasaan tentang keagungan Al Quran di dalam dirinya, perasaan nilai yang sangat berarti.

Kalau menginginkan hal yang terkait dengan duniawi semua sudah bisa, lihat rumah bagus, pengen, mobil bagus, ingin. Nah, bagaimana kemudian dalam diri orang beriman bisa punya perasaan, keinginan, untuk merasakan nikmat Al Quran. Karena hanya dengan adanya keinginan ini, maka akan ada kompetisi, artinya kita akan merasa termotivasi ketika melihat orang lain lebih rajin dari diri kita.

Misalnya, ketika Ramadhan sudah tanggal 5, “Kamu sudah berapa juz?” Ketika melihat saudaranya sudah 15 juz, saya koq baru 5 juz. Maka dia termotivasi untuk lebih banyak lagi membaca Al Quran. Itu namanya at takrir, adanya perasaan penghargaan.

Bukan sebaliknya, dia malah mencari pembenaran terhadap dirinya, ”Kamu mah enak, ga punya bayi, saya sih punya.” Bayi jadi disalah-salahkan. Kalaupun tidak bisa sama, minimal berusaha miriplah, misal 7-8 juz. Saat tanggal 10 Ramadhan, kamu koq sudah khatam, saya baru 15 juz, ”Masak kalah sama saudara saya,” maka meningkatlah motivasinya untuk memperbanyak membaca Al Quran.

Jadi dengan sikap seperti itu, akan terasa bahwa pergaulan kita sebagaimana hadits yang diungkapkan Rasulullah, bahwa keberadaan orang beriman itu adalah bagaikan cermin bagi saudaranya, “Saya kalah jauh bacaan Quran dengan saudara saya, berarti saya kurang mujahadah.”

Di balik mungkin kita dalam kondisi belum mampu, tapi kalau motivasinya bertambah, belum mampunya kita, pasti akan meningkat. Ibarat tadi dapatnya 5 juz, termotivasi jadi 7 juz. Peningkatan ini sangat mungkin terjadi kalau memiliki motivasi yang kuat.

Itulah tiga prinsip dalam berinteraksi dengan Al Quran agar terjadi interaksi yang maksimal selama bulan Ramadhan sesuai dengan taujih Robbani dalam Al Baqarah ayat 185 di atas. Sehingga tiap tahun tidak hanya terjadi interaksi yang rutin, dari dulu sampai sekarang, setiap kali ditanya tentang kegiatannya di bulan Ramadhan, “Biasa, baca Al Quran.”

Nah, sekarang coba ditingkatkan, baca al Quran yang seperti apa? Kita ikuti petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, agar kemiripan interaksi kita seperti petunjuk Rasulullah, supaya lebih memperdekat dengan janji-janji Allah yang lain, ada janji syafaat, janji pembelaan, janji masuk surga sampai tingkat tertinggi dan seterusnya akan bisa kita raih, insya Allah. (dian)

Disarikan dari Kajian Tafsir Quran Selasa Pagi yang disampaikan ust Abdul Azis Abdur Rauf, Lc di Masjid Al Hikmah, 12 Agustus 2008/11 Sya’ban 1429H.

Jumat, 14 Agustus 2009

AIR MATA SAYA MENETES DI RUMAH DR HIDAYAT NURWAHID

Penulis: Nabil Almusawa
BismiLLAAHir RAHMAANir RAHIIM,
Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk ikut dalam acara buka bersama dengan Ketua MPR-RI, DR Muhammad Hidayat Nurwahid, MA di rumah dinasnya, kompleks Widya Chandra dengan beberapa ikhwah.
Ketika saya masuk ke rumah dinas beliau tsb, maka dalam hati saya bergumam sendiri: Alangkah sederhananya isi rumah ini. Saya melihat lagi dengan teliti, meja, kursi2, asesori yg ada, hiasan di dinding. SubhanaLLAH, lebih sederhana dari rumah seorang camat sekalipun.
Ketika saya masuk ke rumah tsb saya memandang ke sekeliling, kebetulan ada disana Ketua DPR Agung Laksono, Wk Ketua MPR A.M Fatwa, Menteri Agama, dan sejumlah Menteri dari PKS (Mentan & Menpera) serta anggota DPR-RI, serta pejabat2 lainnya.

Lagi2 saya bergumam: Alangkah sederhananya pakaian beliau, tidak ada gelang dan cincin (seperti yg dipakai teman2 pejabat yg lain disana). Ternyata beliau masih ustaz Hidayat yg saya kenal dulu, yg membimbing tesis S2 saya dg judul: Islam & Perubahan Sosial (kasus di Pesantren PERSIS Tarogong Garut).

Terkenang kembali saat2 masa bimbingan penulisan tesis tsb, dimana saya pernah diminta datang malam hari setelah seharian aktifitas penuh beliau sebagai Presiden PKS, dan saya 10 orang tamu yg menunggu ingin bertemu. Saya kebagian yg terakhir, ditengah segala kelelahannya beliau masih menyapa saya dg senyum : MAA MAADZA MASAA'ILU YA NABIIL?

Lalu saya pandang kembali wajah beliau, kelihatan rambut yg makin memutih, beliau bolak-balik menerima tamu, saat berbuka beliau hanya sempat sebentar makan kurma & air, karena setelah beliau memimpin shalat magrib terus banyak tokoh yg berdatangan, ba'da isya & tarawih kami semua menyantap makanan, tapi beliau menerima antrian wartawan dalam & luar negeri yang ingin wawancara.

Tdk terasa airmata ana menetes, alangkah jauhnya ya ALLAH jihad ana dibandingkan dg beliau, saya masih punya kesempatan bercanda dg keluarga, membaca kitab dsb,
sementara beliau benar2 sudah kehilangan privasi sebagai pejabat publik, sementara beliaupun lebih berat ujian kesabarannya untuk terus konsisten dlm kebenaran dan membela rakyat.

Tidaklah yg disebut istiqamah itu orang yg bisa istiqamah dlm keadaan di tengah2 berbagai kitab Fiqh dan Hadits seperti ana yg lemah ini. Adapun yg disebut istiqamah
adalah orang yg mampu tetap konsisten di tengah berbagai kemewahan,kesenanga n, keburukan, suap-menyuap dan lingkungan yang amat jahat dan menipu.

Ketika keluar dari rumah beliau saya melihat beberapa rumah diseberang yang mewah bagaikan hotel dg asesori lampu2 jalan yg mahal dan beberapa buah mobil mewah, lalu ana bertanya pd supir DR Hidayat : Rumah siapa saja yg diseberang itu? Maka jawabnya : Oh, itu rumah pak Fulan dan pak Fulan Menteri dari beberapa partai besar.

Dalam hati saya berkata: AlhamduliLLAH bukan menteri PKS. Saat pulang saya menyempatkan bertanya pd ustaz Hidayat: Ustaz, apakah nomor HP antum masih yg dulu? Jawab beliau: Benar ya akhi, masih yg dulu, tafadhal antum SMS saja
ke ana, cuma afwan kalo jawabannya bisa beberapa hari atau bahkan beberapa minggu, maklum SMS yang masuk tiap hari ratusan ke saya.

Kembali airmata saya menetes. alangkah beratnya cobaan beliau & khidmah beliau untuk ummat ini, benarlah nabi SAW yang bersabda bahwa orang pertama yg dinaungi oleh ALLAH SWT di Hari Kiamat nanti adalah Pemimpin yang Adil.. Sambil berjalan pulang saya berdoa : Ya ALLAH, semoga beliau dijadikan pemimpin yg adil & dipanjangkan umur serta diberikan kemudahan dlm memimpin negara ini. Aaamiin ya RABB.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan


Nama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hingga kini masih melekat di hati masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan, meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan. Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sebagai ‘Matahari Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, tulis situs wikipedia, adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar.

Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya, tulis buku itu, lokasi ini berupa sebidang tanak kosong yang masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.

Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.

Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.

Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan, sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.

Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad utup usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar, di samping kitab Ushuluddin, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).

Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung yang ada di wilayahnya. Tiba kampung Lok Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang indah. Setelah bertanya, dia mengetahui pelukisnya bernama Muhammad Arsyad, seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu, Sultan berniat mengasuhnya di istana.

Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.

Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan Bajut, seorang perempuan yang solehah. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19 Maret 1710 M. Ia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan Hukum Fiqih di Asia Tenggara.

Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd Karim al Samman al Hasani al Madani. Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yang bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.

Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari belajar bersama tiga orang Indonesia lainnya: Syekh Abdul Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan ‘Empat Serangkai dari Tanah Jawi’ yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain. Belakangan, Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi menantunya karena kawin dengan anak pertama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu, timbul hasratnya untuk kembali ke kampung halaman. Sebelum sampai di tanah kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta. Ia menginap di rumah salah seorang temannya waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sempat memberikan petunjuk arah kiblat Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum kembali ke Kalimantan.

Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M, Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu. Raja Banjar, Sultan Tamjidillah, menyambut kedatangannya dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai seorang ulama ‘Matahari Agama’ yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.

Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren lengkap sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan istana maupun masyarakat kelas bawah.

Lebih 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari. Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka ia dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan – panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang – ini dikebumikan.

Sabil Al-Muhtadin

Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab.

Buku-buku yang membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.

Dari berbagai buku-buku fikih yang ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.

Selain itu, ada alasan utama yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yang ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.

Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.

Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.

Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-masalah fikih berdasarkan mazhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.

Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah-masalah fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.

Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul "Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin," menyatakan, ”Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.”

Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.

Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan, ”Fakir dan miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”

Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan dengan emas maupun perak yang cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yang disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yang sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.

Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. ”Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata,” ujar Kailani.

”Beliau memberi contoh dengan pengelolaan kebun yang manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yang belum memperoleh pekerjaan layak,” tambahnya.

Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Mas’udi mengenai zakat yang ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.

Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang terlontar melampaui zamannya.

Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.

”Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yang bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang,” kata Kailani.

Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran yang dilakukan oleh Departemen Agama yang kini tengah mentahkik karya-karya ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya. bur/sya/taq/berbagai sumber (doc. Republika, Mei 2009)

STOP DREAMING START ACTION

Mmm... bagus juga temanya, sebetulnya mengambil dari pemikiran saat aku lagi asyik browsing mengenai jadwal imsyakiyah bulan suci Ramadhan tahun 1420 Hijriyah yang insyaAllah bertepatan dengan tanggal 21 Agustus 2009 hari jum'at, jadi hari kamis tanggal 20 Agustus 2009 sudah sholat tarawih. MARHABAN YAA RAMADHAN...

Aku menemukan mengenai kalimat ini, katanya berhadiah pula jika mencantumkan dalam blognya, tapi bukan itu yang aku cari. yang ingin aku bagi disini adalah mari kita menyiapkan diri ini, hati kita untuk menyambut bulan suci Ramadhan dengan penuh suka cita.

STOP DREAMING.... BERHENTI MIMPI... SAATnya UNTUK START ACTION.... AYO MULIA BERTINDAK...

SIAPKAN DIRI KITA MENUJU RAMADHAN MUBAROK...
Salah satunya dengan mencari jadwal Imsyakiyah, yang termasuk juga melihat jadwal sholat 5 waktu. Berikut untuk kawasan kota Surabaya dan sekitarnya.



Untuk kawasan kota-kota lain di Indonesia bisa dilihat di link berikut ini http://www.pkpu.or.id/imsak1430.php.

Yang kedua siapkan diri untuk MUHASABAH HARIAN RAMADHAN dengan membuat jadwal bisa seperti ini :



Maaf mungkin agak aneh buat teman-teman, ini muhasabah diri saya agar aktif sholat berjama'ah dan tepat waktu dengan menjadi Muadzin...

Teman-teman bisa membuat agenda Muhasabah harian, disesuaikan dengan kemampuan diri sendiri. Jangan dipaksakan, tapi cari yang terBAIK yang BISA anda lakukan...

Selamat Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1430 H ....

Kamis, 13 Agustus 2009

Muhasabah Harian Setiap Muslim

Sudah sepantasnya kitamelakukan muhasabah setiap hari.
Dengan berbagai dosa-dosa, baik yang kecil maupun besar yang selalu mengiringi langkah kehidupan kita, apalagi di jaman fitnah yang membuat seseorang lebih sulit lagi untuk bisa terhindardari dosa

Berikut ini ada 36 pertanyaan yang bisa kita jadikan bahan untuk muhasabah harian, silahkan dijawab dengan sejujur-jujurnya karena tidak akan ada yang jadi penilai selain anda sendiri dan Allah SWT

1. Apakah anda setiap hari selalu shalat shubuh berjamaah di masjid ? (bagi ikhwan)
2. Apakah anda selalu menjaga shalat yang 5 waktu berjamaah di masjid ? (bagi ikhwan)
3. Apakah anda hari ini membaca Al-Qur?an?
4. Apakah anda rutin membaca dzikir setelah selesai melaksanakan shalat wajib?
5. Apakah anda selalu menjaga shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat wajib?
6. Apakah anda hari ini khusyu? dalam shalat, menghayati apa yang anda baca?
7. Apakah anda hari ini mengingat mati dan kubur?
8. Apakah anda hari ini mengingat hari kiamat, segala peristiwa dan kedahsyatannya?
9. Apakah anda telah memohon kepada Allah sebanyak 3 kali agar dimasukkan ke dalam syurga?
10. Apakah anda telah meminta perlindungan kepada Allah sebanyak 3 kali agar diselamatkan dari api neraka? Karena: “Barang siapa yang memohon syurga kepada Allah sebanyak 3 kali, Syurga berkata, “Wahai Allah! Masukkanlah ia ke dalam syurga”, dan barang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah agar diselamatkan dari api neraka sebanyak 3 kali, Neraka berkata, “Wahai Allah! Selamatkan ia dari api neraka”.” (Shahih Al-Jami? No. 6151 Jilid 6)
11. Apakah anda hari ini membaca hadits Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam?
12. Apakah anda pernah berfikir untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik?
13. Apakah anda telah berusaha untuk menghindari banyak tertawa dan bergurau?
14. Apakah anda hari ini menangis karena takut kepada Allah?
15. Apakah anda selalu membaca dzikir pagi dan sore hari?
16. Apakah anda hari ini telah memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang telah anda perbuat?
17. Apakah anda telah memohon kepada Allah dengan benar untuk mati syahid? Karena Rasulullah shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang memohon kepada Allah dengan benar untuk mati syahid, maka Allah akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya.” (HR. Muslim)
18. Apakah anda telah berdo?a kepada Allah agar Ia menetapkan hati anda di atas agama-Nya?
19. Apakah anda telah mengambil kesempatan untuk berdo?a kepada Allah di waktu ?waktu yang mustajab?
20.Apakah anda telah membeli buku-buku islam untuk memahami islam? (Tentu dengan memilih buku-buku yang sesuai dengan pemahaman yang diikuti oleh para sahabat Nabi, karena banyak juga buku-buku Islam yang tersebar di pasaran justru merusak pemahaman Islam yang benar).
21. Apakah anda memintakan ampun kepada Allah untuk saudara-saudara mukminin dan mukminah? Karena dengan mendo?akan mereka anda mendapat kebaikan pula. (Shahih Al-Jami? No. 5902)
22. Apakah anda telah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat Islam?
23. Apakah anda telah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat mata, telinga, hati dan segala nikmat lainnya?
24. Apakah hari ini anda telah bersedekah kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan?
25. Apakah anda dapat menahan amarah yang disebabkan karena urusan pribadi dan berusaha untuk marah karena Allah semata?
26. Apakah anda telah berusaha untuk selalu menjauhkan diri dari sikap sombong dan membanggakan diri?
27. Apakah anda telah mengunjungi saudara ?saudara seiman dan seagama (ikhlas karena Allah semata)?
28. Apakah anda telah berdakwah untuk keluarga, saudara-saudara, tetangga, dan siapa saja yang yang ada hubungannya dengan diri anda?
29. Apakah anda termasuk orang yang berbakti kepada orang tua?
30. Apakah anda selalu mengucapkan “Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji?uun ? Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya” jika anda mendapat musibah dari Allah? Karena Rasulullah shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah masing-masing kalian melakukan istirja? (mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji?uun) pada setiap hal meskipun ketika tali sandalnya putus karena hal itu termasuk musibah.” (Hadits hasan, lihat Shahih Al-Kalimut Thayyib No. 140)
31. Apakah anda hari ini mengucapkan do?a: “Allahumma Innii A?uudzubika an Usyrikabika wa Anaa A?lam wa Astaghfiruka Limaa laa A?lam ? Ya allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahui dan aku memohon ampunan-Mu terhadap apa-apa yang tidak aku ketahui.” (Shahih Al-Jami? No. 3625). Barang siapa yang mengucapkannya maka Allah akan menjauhkan darinya dari syirik besar dan syirik kecil.
32. Apakah anda selalu berbuat baik kepada tetangga?
33. Apakah anda telah membersihkan hati dari sombong, riya, hasad dan dengki?
34. Apakah anda telah membersihkan lisan anda dari perkataan dusta, mengumpat, mengadu domba, berdebat kusir dan berbuat serta berkata yang tidak ada manfaatnya?
35. Apakah anda selalu takut kepada Allah dalam hal penghasilan, makanan, minuman dan pakaian?
36. Apakah anda selalu bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya di segala waktu atas segala dosa dan kesalahan?
“Akhi muslim, jawablah pertanyaan-pertanyaan di atas dengan perbuatan nyata, agar engkau mendapat ridla Allah dan menjadi orang-orang yang beruntung di dunia dan di akherat, Insya Allah.”

- Zaadul Muslim Al-Yaumi , Syaikh Abdullah bin Jaarullah bin Ibrahim Al-Jaarullah .
- Al-Qabru Adzaabuhu wa Na iimuhu, Syaikh Husain Al-?Awaisyah

"Sudahkah kita membaca Alqur'an hari ini?
Berapa kali dalam sebulan kita mengkhatam Al qur'an."
( Khairukum man ta'allamal qur'an wa 'allamah).
SOMEDAY IS TODAY, DO IT NOW OR NEVER

TIPS OF THIS DAY
“Didiklah anakmu dengan 3 perkara: mencintai Allah, mencintai Rasul dan belajar Al-Qur’an” (Al-hadits)